Apa yang ada di benak kita bila mendengar kata informed consent ?  Tentunya tidak semua kalangan dan tidak pula semua profesi mengenal kata ini bukan ? Istilah informed consent sebenarnya biasa digunakan di dunia hukum dan bagi kita yang bekerja di lingkungan medis atau pelayanan kesehatan , pada umumnya sudah tidak asing lagi dengan informed consent dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya. Namun ternyata masih banyak kalangan yang belum mengetahuinya, bahkan yang bekerja di lingkungan pelayanan kesehatan sekalipun. Hal ini menjadi sesuatu yang perlu disosialisasikan dengan benar dan intensif, bahkan masyarakat yang bekerja di luar lingkungan pelayanan kesehatan perlu untuk mengetahuinya, karena setiap manusia hampir dapat dipastikan pernah dan akan berhubungan dengan pelayanan kesehatan.

Informed consent inipun dalam beberapa tahun terakhir menjadi salah satu primadona dalam kaitannya dengan proses penilaian akreditasi rumah sakit di Indonesia. Lebih-lebih bila kita cermati materi penilaian akreditasi dari Joint Commision Internasional (JCI) yang menitikberatkan kepada kepentingan pasien (patient oriented) dan bertujuan untuk keselamatan pasien (patient safety).

PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN

Begitu  pentingnya  informed  consent  ini hingga Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan RI no. 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.

Dalam PERMENKES ini, istilah yang digunakan untuk informed consent adalah Persetujuan Tindakan Kedokteran yang didefinisikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.

Berkenaan dengan definisi tadi, ada beberapa hal yang perlu dicermati dan dipahami benar oleh kita semua agar tidak terjadi salah persepsi, yaitu mengenai unsur-unsur yang melekat pada informed consent, antara lain :

–          Yang dimaksud dengan pasien adalah pasien yang kompeten (pasien dewasa atau bukan anak menurut peraturan perundang-undangan atau telah/pernah menikah, tidak terganggu kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami kemunduran perkembangan/retardasi mental dan tidak mengalami penyakit mental sehingga mampu membuat keputusan secara bebas

–          Keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung, anak-anak kandung, saudara kandung atau pengampunya

–          Tindakan kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu tindakan medis berupa preventif, diagnostik, terapeutik atau rehabilitatif yang dilakukan oleh dokter/dokter gigi terhadap pasien.

Jadi, semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien, harus mendapat persetujuan dari pasien atau keluarga pasien. Persetujuan dapat diberikan secara tertulis maupun lisan, namun tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus memperoleh persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.

Dan yang perlu diingat pula adalah persetujuan diberikan setelah pasien/keluarga pasien mendapat penjelasan yang disampaikan dengan bahasa yang mudah dimengerti tentang perlunya tindakan kedokteran dilakukan, yang mencakup diagnosis, tata cara tindakan, tujuan tindakan, alternatif tindakan lain dan risikonya, serta risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi.

Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran. Walaupun demikian, dokter/dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat.

Persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan sebelum dimulainya tindakan dan harus dilakukan secara tertulis. Segala akibat yang timbul dari pembatalan itu tentunya menjadi tanggung jawab yang membatalkan persetujuan.

Nah, agar terhindar dari masalah hukum, marilah kita sama-sama saling mengingatkan untuk membiasakan berlaku tertib dalam hal pelaksanaan informed consent ini.

Comments are closed.