Beberapa hari lalu Kementerian Kesehatan RI umumkan KLB Difteri. Seperti berita yang dirilis pada portal Kementerian Kesehatan, dalam kurun waktu Oktober – November 2017, sudah ada 11 Provinsi yang  melaporkan Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri, yaitu 1) Sumatera Barat, 2) Jawa Tengah, 3) Aceh, 4) Sumatera Selatan, 5) Sulawesi Selatan, 6) Kalimantan Timur, 7) Riau, 8) Banten, 9) DKI Jakarta, 10) Jawa Barat, dan 11) Jawa Timur.

Sementara di RSUP dr. Hasan Sadikin pada November 2017 tercatat ada 2 anak menderita Difteri, berasal dari Purwakarta (14 tahun) dan Kabupaten Bandung Barat (12 tahun). Satu pasien telah menjalani operasi Trakeostomi namun sudah mengalami perbaikan dan akan segera pulang jika hasil kultur Difterinya negatif dua kali. Menurut data yang dimiliki RSHS, pada tahun 2016 terdapat 9 pasien difteri dengan 1 orang meninggal dunia dan di tahun 2017 hingga November, RSHS telah merawat 11 pasien, 2 meninggal dunia. Pasien terbanyak berasal dari Purwakarta.

Pasien Difteri yang dirawat di RSHS mendapatkan penatalaksanaan yang baik dan aman. Pasien dirawat di ruang isolasi, diberi antibiotik dan obat-obatan lain, dan jika diperlukan mendapatkan tindakan operasi trakeostomi. Setelah masuk Rumah Sakit, pasien Difteri tidak akan mudah untuk keluar, harus dipastikan terlebih dahulu pasien sudah benar – benar tidak menularkan bakteri Difteri tersebut, selain tentu klinisnya sudah baik serta tidak ada komplikasi lain.

“Difteri merupakan penyakit yang sangat mudah menular dan menyerang pada orang dengan kekebalan tubuh yang rendah. Untuk itu, masyarakat diminta lebih waspada. Pencegahan utama Difteri adalah imunisasi,” Terang DR, dr, Djatnika Setiabudi, SpA (K), MCTM, Kepala SMF Ilmu Kesehatan Anak RSHS. “Segera lakukan imunisasi bagi yang belum, dan lengkapi bagi yang belum lengkap,” Tambahnya.

Senada dengan dr. Djatnika, Staf SMF IK Anak RSHS yang juga ketua UKK Infeksi dan Penyakit Tropik Ikatan Dokter Anak Indonesia, DR, dr, Anggraini Alam SpA(K) menyampaikan, “Saat ini Difteri masih menjadi suatu masalah di Indonesia, oleh karena itu pemerintah menerbitkan bahwa Difteri Indonesia merupakan KLB. Pada penyakit difteri, 1 saja kasus, sudah dapat dikatakan KLB. Oleh karena itu, ayo, lakukan dan lengkapi imunisasinya”.

Vaksin untuk imunisasi Difteri ada 3 jenis, yaitu vaksin DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus)-HB-Hib, vaksin DT, dan vaksin Td yang diberikan pada usia berbeda. Imunisasi Difteri diberikan melalui Imunisasi Dasar pada bayi (di bawah 1 tahun) sebanyak 3 dosis vaksin DPT-HB-Hib dengan jarak 1 bulan. Selanjutnya, diberikan Imunisasi Lanjutan (booster) pada anak usia 18 bulan sebanyak 1 dosis vaksin DPT-HB-Hib; pada anak sekolah tingkat dasar kelas-1 diberikan 1 dosis vaksin DT, lalu pada murid kelas-2 diberikan 1 dosis vaksin Td, kemudian pada murid kelas-5 diberikan 1 dosis vaksin Td.

Namun dengan berkembangnya waktu dan tingginya angka kejadian Difteri ini, dr. Djatnika menyarankan, vaksin booster pada anak usia 18 bulan sebaiknya dianggap sebagai vaksin wajib,  agar kekebalan anak tetap terjaga dan tidak mudah terinfeksi bakteri Difteri.

Bagaimana Mengenali Difteri

  1. Djatnika juga menjelaskan, gejala penyakit yang disebabkan Corynebacterium diptheriae ini diantaranya Demam yang tidak terlalu tinggi, sakit tenggorokan / nyeri menelan, suara parau, kadang disertai dengan sesak nafas, lemas dan yang khas terdapat pseudomembran / selaput putih di tenggorokan. Bisa juga dilihat dengan adanya pembengkakan pada seluruh bagian leher atau disebut bullneck. Bengkak pada leher ini merata, berbeda dengan penyakit gondok.

Penyakit ini sangat mudah menular melalui udara yaitu melalui percikan yang terhirup saat penderita batuk atau bersin.

Seperti bakteri lainnya, bakteri Difteri senang berada di tempat lembab, sehingga yang perlu kita perhatikan adalah kebersihan lingungan dan tingkat kelembaban rumah maupun lingkung tinggal. Selain itu selalu biasakan perilaku hidup bersih dan sehat serta perhatikan asupan gizi seluruh anggota keluarga.

Difteri memang sedang menjadi KLB, orang tua perlu waspada namun tidak perlu panik. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan sudah memiliki standar tatalaksanana penanganan KLB, masyarakat hanya perlu kooperatif/ bekerja sama. Karena menurunkan angka kejadian Difteri / penyakit infeksi lainnya tidak akan berhasil tanpa kesadaran dan kepedulian dari seluruh lapisan masyarakat.

Comments are closed.