Kesederhanaan Yang Tetap Lestari

Siapa diantara anda yang tidak atau bahkan belum mengenal Kampung Naga? Bila belum, ulasan kami ini akan memberikan anda sedikit informasi mengenai Kampung Sunda nan eksotis ini.

Kampung Naga merupakan objek wisata yang berada di wilayah Salawu Kabupaten Tasikmalaya. Terletak jauh dari perkotaan, kampung ini populer sebagai daerah yang konsisten menjaga dan melestarikan budaya tanah leluhur mereka. Saat kita datang ke kampung Naga, kita akan disambut seorang kuncen yang berpakaian pangsi hitam & ikat kepala khas busana pria Sunda. Sang kuncen inilah yang biasanya menjadi tour guide rombongan wisatawan yang mengunjungi Kampung Naga.

Untuk dapat sampai di kampung Naga, kita seolah ‘dipaksa’ untuk menuruni ± 439 anak tangga.  Bagi anda yang tidak gemar berolahraga, perjalanan menuruni anak – anak tangga ini mungkin akan cukup membuat anda kewalahan karena belum juga sampai di mulut kampung, keringat deras sudah mengaliri kulit, pertanda begitu banyak tubuh mengeluarkan energi. Namun rasa lelah dan cape pun seolah hilang seketika setelah kaki ini benar-benar menginjak Kampung Naga. Memasuki area kampung, kita dapat menjumpai aliran sungai yang cukup deras dan hamparan sengkedan  sawah sangat menyegarkan mata. Pemandangan ini semakin lengkap dengan ibu-ibu kampung Naga yang sedang menumbuk padi dengan menggunakan lesung.

Secara fisik, memang tidak ada perbedaan yang kentara antara Kampung Naga dengan kampung-kampung sunda lainnya. Kampung Naga menjadi kampung tradisional yang tetap eksis lestari di tengah gempuran globalisasi. Mempunyai luas sekira 1,5 hektar, kampung Naga dihuni oleh 108 kepala keluarga. Salah satu hal yang unik dari kampung ini adalah jumlah bangunan di kampung Naga yang tidak boleh bertambah. Adapun jumlah bangunan di Kampung Naga saat ini adalah 113 bangunan. Atap-atap bangunan disini terbuat dari ijuk.

 Menurut sesepuh Kampung Naga, Ade Suherli, warga Kampung Naga harus senantiasa mempertahankan gaya hidup mereka, yaitu hidup bersama dengan alam. Adalah suatu pantangan bagi mereka untuk merusak alam yang telah dianugrahkan oleh Sang Pencipta. Prinsip ini diturun-temurunkan dari nenek moyang mereka. Salah satu bukti keselarasan mereka dengan alam, adalah ketiadaan energi listrik. Warga Kampung Naga tidak bergantung pada listrik. Kendati pihak PLN setempat telah menawarkan pembangunan fasilitas listrik gratis di kampung ini, warga Kampung Naga menolak dengan halus.  Mereka percaya bahwa tanpa energi listrik, kehidupan akan tetap berjalan.

Untuk masalah pemenuhan kebutuhan pangan, warga kampung Naga mempunyai caranya sendiri. “ Semua warga di Kampung Naga ini  bermata pencaharian petani. Hasil dari pertanian ini tidak kita jual, tetapi kita gunakan untuk memenuhi kebutuhan warga kampung Naga sehari-hari. Kita juga memanfaatkan sumberdaya alam yang lain yang terdapat di kampung ini untuk memenuhi kebutuhan warga “ tutur Ade.

Patuh Ajaran Islam

Tak hanya nuansa adat Sunda, di kampung ini nilai-nilai islam pun terasa kental. Sang sesepuh mengatakan bahwa semua warga disini harus mengikuti ajaran islam dengan benar seperti yang telah diamanatkan oleh leluhur mereka. Sebagai muslim mereka harus taat mengerjakan shalat lima waktu dan aturan-aturan islam lainnya. Tak hanya itu, mereka juga ‘dipantangkan’ untuk rokok, madat dan berzina. Adapun aktifitas khusus warga Kampung Naga secara rutin dilakukan 6 kali dalam setahun, yaitu pada bulan Muharram, Maulid, Jumadil Akhir, Nisfu Sya’ban, Idul Fitri dan Idul Adha. Pada bulan-bulan tertentu, para lelaki di kampung ini melakukan ziarah ke makam leluhur

Melek Pendidikan dan Pelayanan Kesehatan

Meskipun tinggal di kampung adat tradisional, bukan berarti anak-anak Kampung Naga terhambat untuk mendapatkan pendidikan, karena ternyata anak-anak kampung Naga juga banyak yang bisa bersekolah tinggi. Mereka juga bersekolah sama seperti anak-anak lainnya, yang membedakan hanyalah jarak tempuh antar rumah mereka dengan sekolah yang lebih jauh karena letak sekolah mereka rata-rata terletak di daerah kota. Meskipun demikian, jarak antara rumah dan sekolah yang jauh ini  tidak membuat mereka patah semangat untuk pergi ke sekolah, tentu saja hal ini patut diacungi jempol.

“Anak-anak kampung naga sebenarnya banyak yang sudah berhasil, bahkan diantara mereka ada juga yang bersekolah dan bekerja di luar negeri. Tapi tetap saja bila suatu hari mereka pulang ke Kampung Naga ini, mereka tetap harus menuruti aturan dan adat di sini. Harus patuh pada pakem-pakem yang selama ini kami jaga” tutur Ade menambahkan.

Selain bidang pendidikan, warga Kampung Naga pun tidak ‘tabu’ dalam menerima layanan kesehatan. Ternyata mereka juga terbuka bagi pelayanan kesehatan modern. Tidak sedikit warga Kampung Naga yang melahirkan dengan menggunakan jasa bidan. Tidak sedikit pula yang sering berobat ke puskesmas bahkan rumah sakit. Namun demikian, jarak tempuh antar tempat tinggal mereka dengan pusat layanan kesehatan yang jauh tetap saja menjadi kendala. Tidak hanya itu, akses keluar dan masuk Kampung Naga yang cukup ‘berliku’ harus melewati ± 439 anak tangga, cukup menyulitkan warga kampung Naga yang urgent memerlukan layanan kesehatan modern. Menurut kuncen Kampung Naga, bila ada warga yang mau berobat ke puskesmas, tak jarang mereka harus membopong atau bahkan menggotong warga yang sakit melewati anak-anak tangga tersebut.

Kampung Nyunda

Akhirnya, … menikmati atmosfir Kampung Naga, mengamati kehidupan  sehari-hari warganya, kita seperti di berada di alam yang damai dan penuh kesederhanaan.  Datang ke kampung ini seolah mengingatkan pada jati diri sebagai orang Sunda karena disini warga Kampung Naga dengan bangga mempertahankan adat dan budaya Ki Sunda bukan saja hari ini, tetapi di sepanjang hidup mereka. Semoga tetap lestari.

Comments are closed.