Maraknya minuman keras oplosan dikonsumsi masyarakat telah semakin meresahkan karena telah banyak merenggut korban. Rasanya belum lama kita mendengar kabar menyedihkan  beberapa remaja meninggal akibat menenggak miras oplosan ini.

Peraturan untuk menaikkan pajak, melarang legalitas alkohol (biasanya disebut “Arak”, “Ciu”, dll) di toko membuat permintaan minuman dengan harga murah tidak dapat dipenuhi. Dapat dilihat dari Pusat Studi Kebijakan Indonesia (PSKI) bahwa jumlah orang meninggal antara 2013 dan 2016 karena keracunan Miras ilegal meningkat 226%. Pada 2018 lebih dari 500 orang dilaporkan meninggal setelah minum Miras yang mengandung metanol dalam jumlah yang besar. Namun dalam kenyataannya jumlahnya akan lebih tinggi daripada yang dilaporkan karena kesalahan diagnosa atau disembunyikan oleh keluarga mereka karena beberapa alasan dan ini masih terus terjadi.

Dokter spesialis kesehatan jiwa, dr. Teddy Hidayat, Sp. KJ(K), dalam acara master class penatalaksanaan terkini keracunan miras (11/04), menyampaikan, Di Indonesia ada sebanyak 3,3% orang yang usianya lebih dari 10 tahun yang meminum alkohol atau kurang lebih 6,17 juta orang, berdasarkan jenisnya 3,3 % atau 203.610 orang menggunakan oplosan. Minuman oplosan banyak beredar di masyarakat karena harganya yang relatif murah, yaitu antara Rp. 15.000 – Rp. 20.000 perbungkus plastik sehingga terjangkau oleh masyarakat.

Remaja minum minuman keras  biasanya untuk coba-coba dan rasa ingin tahu atau terbawa oleh teman  atau ingin dianggap dewasa. Sedang untuk usia pertengahan minum minuman keras biasanya untuk mengatasi stres atau kesulitan hidup  yang dihadapi. Selain itu faktor kultur  dan budaya juga ikut berperan seperti kebiasaan   minum minuman keras  atau ada orang tua dan  keluarga yang juga minum minuman keras.

Miras Oplosan dikonsumsi untuk mendapatkan perasaan gembira dan menyenangkan, namun  didalam minuman  miras oplosan tersebut  selain mengandung etanol juga  methanol (CH3 OH).

“ Sebenarnya methanolnya sendiri tidak berbahaya, tetapi bila masuk ke dalam tubuh akan dirubah menjadi formic acid yang menyebabkan  asidosis. Keadaan asidosis tersebut itulah yang  sangat berbahaya karena dapat menyebabkan kecacatan seperti kebutaan sampai kematian,” Tambah dr. Teddy.

 

Penyebab tingginya angka kematian (Mortality rate) di Indonesia adalah:

  1. Jumlah metanol dalam miras ilegal cukup tinggi.
  2. Waktu respon terlalu lama. Ada waktu yang lama yaitu sejak mulai minum miras oplosan sampai timbul gejala (12 – 24 jam), sehingga korban sering terlambat mendapatkan pertolongan; bila datang ke pusat layanan kesehatan umumnya sudah dalam keadaan penurunan kesadaran dan mempunyai prognosa yang buruk.
  3. Para profesional kesehatan kurang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman untuk kasus keracunan metanol. Penegakan diagnosa keracunan miras oplosan sulit karena keluhan gejala yang ditampilkan bervariasi dan dapat meniru gangguan lain, sehingga pengetahuan dan kemampuan tenaga kesehatan perlu terus ditingkatkan.
  4. Fasilitas berupa alat diagnostik dan pilihan terapi di fasilitas kesehatan terbatas.
  5. Kurangnya kesadaran untuk kasus keracunan metanol (Miras oplosan). Perlu adanya perhatian yang besar untuk memberantas peredaran miras oplosan ini oleh seluruh pihak, baik pihak yang berwajib maupun masyarakat di tingkat bawah.

 

Keracunan metanol dapat menyebabkan efek fatal jika tidak ditangani dengan cepat, sehingga pengobatan awal adalah kunci keberhasilan perawatan untuk mencegah kematian atau cacat. Karena itu kami harus mendidik ahli kesehatan kami dalam mendiagnosis, merawat, dan memantau korban.

Miras oplosan dapat menjadi silent killer bagi masyarakat yang kurang faham terhadap dampak buruk dari minuman ini, untuk menurunkan angka kematian akibat miras oplosan ini, dibutuhkan keadaran serta kemauan seluruh lapisan masyarakat dalam mengedukasi dan menghindari peredaran miras oplosan.

Comments are closed.