Ellyana Sungkar
Dokter Konsultan Spesialis Rehabilitasi Medik Anak
Departemen/KSM Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi
RSUP dr Hasan Sadikin – Universitas Padjadjaran Bandung

 

Bayi prematur merupakan bayi yang dilahirkan sebelum usia kehamilan 37 minggu. Beberapa kategori bayi prematur berdasarkan usia gestasi sebagai berikut:
1. Ekstrim prematur (< 28 minggu)
2. Sangat prematur (28 – 32 minggu)
3. Prematur sedang (32 – 37 minggu)

Bayi prematur diperkirakan sekitar 15 juta kelahiran setiap tahunnya. Indonesia berada di urutan kelima dari 10 negara terbesar dengan kelahiran bayi prematur. Mereka memiliki masalah sejak bayi dan berpotensi mengalami keterlambatan perkembangan, gangguan belajar, maslah pendengaran dan penglihatan serta disabilitas lainnya. Masalah fungsional yang dihadapi masa bayi antara lain kemampuan minum melalui mulut, kurang optimalnya gerakan dan gangguan pernafasan. Intervensi dini berupa habilitasi sangat diperlukan bagi bayi prematur untuk membantu perkembangan neuroplastisitas otak. Fenomena neuroplastisitas, secara teoritis memungkinkan perubahan dalam struktur otak melalui pengalaman, berpotensi/mampu menetralkan kerusakan mikrostruktur dan perubahan fungsi yang meningkatkan hasil perkembangan saraf pada anak prematur. Hubungan dua arah antara pengalaman dan perubahan otak plastik sedemikian rupa menghasilkan perubahan perilaku adaptif. Hal ini menyebabkan semakin berkembangnya strategi baru untuk merancang program rehabilitasi dan intervensi dini .

Program intervensi dini mampu mencegah dan/atau mengurangi gangguan motorik dan kognisi akibat prematuritas. Habilitasi dini yang berupa stimulasi dan/atau persepsi yang tepat dapat menjadi dasar “neurobiologis” yang kuat untuk harmonisasi perkembangan motorik, kognitif, dan profil perilaku bayi, dengan mendorong perkembangan koneksi otak. Dasar program habilitasi meliputi aspek motorik, relasional, lingkungan, dan transaksional.

Pada aspek motorik, dalam tiga bulan pertama usia koreksi, habilitasi difokuskan terhadap postural misalnya cara memposisikan dalam nesting (yang bertujuan untuk mempertahankan posisi bayi yang melengkung, jadi untuk meningkatkan penyesuaian postur tubuhnya). Selanjutnya, merangsang respon adaptif anak terhadap lingkungan, kontak mata dengan wajah dan objek (“melibatkan fiksasi visual dan pengejaran”), menangkap/manipulasi objek, memperhatikan lingkungan, berdiri dan berjalan (misalnya, dengan menasihati agar tidak menggunakan baby walker prematur), makan mandiri,dll.

Pada aspek relasional, habilitasi diciptakan membentuk bonding orangtua dan anak — melalui kontak kulit-ke-kulit (Perawatan Kanguru), stimulasi sentuhan, pijat bayi, tatapan mata kontak, dan interaksi sosial (tersenyum, meringis, vokalisasi) — dan proses awal pemisahan dari orang tua.

Pada aspek lingkungan, tersedianya lingkungan rumah yang dapat menstimulasi dan senantiasa berubah sesuai dengan kebutuhan perkembangan anak, sangatlah penting. Sebagai contoh, meletakkan tikar bermain di lantai pada tahap awal sehingga memfasilitasi anak lebih aktif bergerak. Modifikasi durasi juga dapat dilakukan, misalnya dari 15/20 menit dua kali sehari pada 3 bulan, menjadi 45/60 menit dua kali sehari pada 6 bulan setelahnya, dst). Anak bebas mendapatkan pengalaman dan mengeksplorasi, sehingga meningkatkan kemandirian dan belajar menghadapi kesulitan.

Sebuah penelitian mengenai habilitasi berbasis rumah yang berfokus pada hubungan orang tua-bayi dan/atau perkembangan bayi dapat meningkatkan fungsional bayi prematur secara keseluruhan. Hal ini menunjukkan bahwa bahkan program berbasis rumah yang berfokus pada pengayaan lingkungan dan interaksi lingkungan yang dipandu orang tua dapat memiliki efektivitas pada perkembangan anak.

Pengalaman yang diciptakan melalui program habilitasi sangat penting untuk mencapai kemampuan sesuai perkembangan dan memberikan dasar untuk membangun ketrampilan yang lebih kompleks di kemudian hari.

Comments are closed.