Waspada, kata itulah yang paling tepat menggambarkan fenomena kebangkitan kembali kasus difteri di Indonesia. Setelah beberapa tahun angka kejadian penyakit ini meredup seketika kemudian muncul Kejadian Luar Biasa (KLB) di beberapa provinsi di Indonesia dengan 552 kasus hingga akhir 2017 lalu. Berdasarkan data, Jatim adalah penyumbang terbesar kasus Difteri disusul Jawa Barat, Banten dan provinsi-provinsi lainnya. Berdasarkan data Kemenkes RI, hingga bulan Desember sedikitnya ada 20 provinsi yang melaporkan temuan penyakit Difteri di Indonesia.
Fenomena kemunculan kembali kasus difteri ini menyita perhatian Dewan Profesor Universitas Padjajaran yang kemudian menggagas diskusi Mengupas Tuntas waspada Difteri, Senin (5/02) 2018 di Lt.2 gedung RSP Universitas Padjajaran Bandung. Dalam forum yang terdiri dari para ahli yang multidisipliner ini dibahas mengenai pentingnya concern dan awarness semua pihak terhadap penyebaran kasus difteri di Indonesia.
Menurut Prof. dr. Kusnandi Rusmil, Sp.A(K).,MM, kemunculan KLB Difteri di Indonesia baru-baru ini disinyalir karena rendahnya herd immunity atau tingkat kekebalan suatu komunitas terhadap terhadap suatu penyakit tertentu (dalam hal ini Difteri). Hal ini dikarenakan adanya kelompok masyarakat melakukan penolakan terhadap imunisasi sehingga ditemukan daerah kantong yang cakupan imunisasinya rendah. Hal ini ditambah dengan tidak adanya booster setiap 10 tahun.
Sebagai upaya pencegahan masalah ini, pemerintah melalui kementerian Kesehatan menginstruksikan untuk melaksanakan ORI (Outbreaks Response Immunization) sebagai tindak lanjut dari permasalahan ini. ORI bertujuan untuk memberikan perlindungan pada kelompok rentan sehingga dapat memutuskan rantai penularan. ORI dilaksanakan tanpa melihat status imunisasi sebelumnya, adapun sasaran ORI kelompok usia sesuai kajian epidemiologi di lokasi KLB yaitu 1 sampai 19 tahun.
Berbicara mengenai Difteri tidak hanya berhenti pada upaya preventif penyebarannya saja karena ternyata, mengenai tata kelola pasien Difteri ada beberapa catatan yang menjadi masalah. Prof. dr.Alex Chairulfatah Sp.A mengungkapkan bahwa ada beberapa masalah dalam tata kelola pasien Difteri yaitu meningkatnya beban kerja rumah sakit dan adanya masalah ketersediaan ADS yang langka. Tak hanya itu, keberhasilan pemeriksaan bakteriologi sangat ditentukan dari teknik pengambilan, penggunaan media transport, penyimpanan dan pengiriman spesimen.
Melihat Difteri dari Perspektif Lain
Seperti halnya fenomena sosial lainnya, penyakit Difteri juga memberikan dampak di berbagai aspek. Ditinjau dari aspek ekonomi, ekonom Adiatma YM. Siregar mengungkapkan fakta bahwa penyakit Difteri dapat menimbulkan kerugian secara materil karena untuk pengobatan Difteri membutuhkan biaya yang tidak murah. Seorang pasien Difteri diperkirakan bisa menghabiskan biaya kira-kira 10 juta per pengobatan. Semua itu ditambah dengan resiko kehilangan produktivitas saat pasien menjalani perawatan difteri dan belum lagi dengan ancaman kematian. Perlu kita semua sadari bahwa dampak ekonomi ini tentunya tidak akan kita alami bila kita melakukan pencegahan karena meskipun pengobatan Difteri itu mahal, namun bisa dihindari. Sekali lagi, dampak ekonomi ini sangat mungkin dihindari melalui vaksinasi. Dengan vaksinasi, kerugian materill tersebut tidak akan pernah kita rasakan.
Sementara itu, pandangan lain diungkapkan oleh pakar Hubungan Internasional, Prof. H. Obsatar Sinaga bahwa upaya pengendalian dan pencegahan Difteri sejatinya tidak hanya mengandalkan dari peran langsung tim kesehatan saja karena kita perlu menjadikan Difteri sebagai isu nasional yang harus ditindaklanjuti oleh semua pihak sebagai bahaya masal. Menurutnya, apabila dipandang sebagai bahaya bagi banyak orang, pemerintah sangat mungkin dapat mengangkat isu ini menjadi isu yang mengancam keselamatan masyarakat tidak hanya menetapkan ini sebuah kasus KLB saja.***