Hipotiroid Kongenital ikut menjadi momok untuk kehidupan anak-anak. Di dunia epidemiologinya adalah 1:3000-4000 kelahiran, dengan rasio anak perempuan dan lelaki 2:1. Demikian dikatakan dr. Novina Andriana, Sp.A,M.Kes dalam seminar “ Hipotiroid ( Skrining, Diagnosis dan Tata Laksana ) beberapa waktu lalu.
Hipotiroid adalah keadaan menurun atau tidak berfungsinya kelenjar tiroid. Bila terdapat sejak lahir disebut hipotiroid kongenital. Penyebab terjadinya adalah karena kelenjar tiroid yang tidak terbentuk sempurna atau gangguan produksi atau hormon tiroid sehingga sejak lahir, hormon tiroid sedikit sekali atau tidak ada sama sekali.
Di Indonesia, menurut data dari Registri Hipotiroid Kongenital UKK Endokrinologi-IDAI mengungkapkan bahwa pada 2014 terdapat 554 kasus hipotiroid dengan jumlah penderita anak perempuan lebih besar dibanding dengan anak laki-laki. Adapun usia terdiagnosis 0-3 bulan sebanyak 34% dan anak lebih dari 1 tahun sebesar 42%.
Hipotiroid Kongenital dan SHK
Bayi yang terkena hipotiroid saat lahir tampak normal karena sebagian besar tidak menunjukkan gejala dan kalaupun ada gejala tidak khas karena sewaktu dalam kandungan bayi terlindungi oleh hormon tiroid ibu. Ciri-ciri bayi yang kemungkinan menderita hipotiroidi adalah ubun-ubun besar, hernia umbikalis, ukuran lidah lebih besar – Prolonged jaundice, konstipasi, gangguan minum dan menghisap, kulit kering dan teraba dingin serta refleks lambat. Apabila terus dibiarkan tanpa penanganan, akan terjadi hambatan perkembangan otak, retardasi mental dan hambatan pertumbuhan. Karena masa bayi merupakan periode kritis perkemangan otak, maka harus segera mendapatkan terapi karena keterlambatan terapi 1 bulan saja, maka akan mengakibatkan hilangnya satu sampai 2 IQ. Harus dicatat bahwa begitu terdeteksi, pasien harus segera diobati agar tumbuh kembangnya mendekati potensi optimal. Untuk mendeteksi normal atau tidaknya hormon tiroid, maka dapat dilakukan Skrining Hipotiroid Kongenital (SHK).
Di negara maju, Skrining Hipotiroid Konginetal ( SHK ) sudah menjadi prosedur rutin. Dalam SHK, kadar hormon TSH diukur dan hasilnya dapat diketahui apakah hasilnya normal atau tidak. Adapun yang digunakan untuk SHK pada bayi adalah sekitar 2 atau 3 tetes darah dari tumit, tidak di vena. Uji saring ini aman, tidak ada efek samping. Anak dengan hipotiroid kongenital yang didiagnosis melalui SHK, dan segera diobati dapat tumbuh dan berkembang seperti anak normal.
Mangenai SHK ini, Prof. Johan S. Mansyur dari SMF Ilmu Kedokteran Nuklir mengungkapkan bahwa RSHS adalah yang pertama melakukan skrining hipotiroid di Indonesia. Selanjutnya RSHS kini SHK sudah dilakukan secara serentak kepada bayi yang baru lahir secara cuma-cuma.
Apakah Hipotiroid bisa di obati?
Jawabannya tentu saja bisa, demikian diungkapkan dr. Faizal Sp.A, M.Kes yang turut menjadi pembicara dalam seminar ini. Sekali lagi perlu digaris bawahi disini bahwa hasil pengobatan akan berbeda pada setiap anak. Semakin cepat ditemukan kondisi hipotiroid pada anak, maka hasil pengobatannya akan semakin baik. Namun tentu saja keluarga memegang andil besar. Keluarga perlu mendapat pengertian mengenai penyebab hipotiroid bayi mereka, pentingnya pengobatan dini untuk mencegah hambatan tumbuh kembang bayi, pentingnya mematuhi pengobatan dan cara pemberian obat serta apa yang menghambat obat, dan perlu mengetahui tanda kelebihan dan kekurangan dosis L-T4/Tiroksin.
Pengobatan yang dini dan tepat akan mengurangi kemungkinan gangguan intelektual karena target pengobatan adalah tumbuh kembang yang optimal.
Seminar memperingati Hari Tiroid Internasional ini secara rutin diselenggarakan setiap tahunnya. diselenggarakan oleh KSTI berkerjasama dengan SMF Ilmu Penyakit Dalam, Ilmu Kesehatan Anak dan Ilmu Kedokteran Nuklir RSHS. Selain membahas tentang Hipoteriod Kongenital pada anak, dalam seminar ini juga dibahas mengenai hipotiroid pada dewasa dan pengobatannya***